Kitab Kesaksian #1: Kedatangan
Sebagai lulusan bahasa mati, aku kira akan mudah bagiku mendapat pekerjaan sesuai bidangku. Ternyata dugaanku salah. Aku kesulitan mendapat pekerjaan yang sejalur dengan jurusanku, mungkin saja itu disebabkan sedikitnya lowongan bagi lulusanku. Hingga akhirnya aku harus rela berkarir di luar bidangku. Meski begitu, keputusanku mengambil jurusan bahasa mati tak sepenuhnya sia-sia. Kelak aku mendapat manfaat karenanya.
Ketika aku mendapat tugas dari kantor untuk ke luar negeri, aku manfaatkan waktu luangku mengunjungi salah satu perpustakaan di negara itu. Salah satu hal yang menarik perhatianku dari perpustakaan itu ialah terdapat kumpulan manuskrip. Setelah memperkenalkan diri dan meminta izin, aku mendapat kesempatan untuk membaca manuskrip kuno yang mereka simpan. Dari banyaknya kumpulan manuskrip, aku harus memilih satu untuk kubaca hari ini. Salah satu manuskrip yang menarik perhatianku berjudul “Kitab Kesaksian”. Kesaksian atas apa? Kenapa pula harus bersaksi? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku semakin penasaran untuk membaca manuskrip itu.
Petang tiba. Setelah seharian berkutat dengan manuskrip itu, aku telah mampu menyelesaikan dan memahami garis besarnya. Kelak di kemudian hari baru kusadari manuskrip itu berkisah tentang negeriku di masa lampau. Bagaimana bisa manuskrip ini sampai di negeri negara ini. Apakah ada penjarahan peninggalan negeriku? ataukah memang manuskrip ini sengaja disembunyikan untuk menghindari dari hal yang tidak diinginkan? Barangkali di masa yang akan datang pertanyaanku dapat terpecahkan.
Setahun berlalu, aku tidak bisa melupakan manuskrip itu. Pikiranku seolah membuat isi manuskrip itu serupa adegan film ketika memikirkannya. Untuk melampiaskan maniaknya diriku yang disebabkan manuskrip yang kubaca, muncul keinginan untuk menulis lalu mempublikasikannya untuk menambah pundi-pundi pemasukanku. Agar tidak diketahui orang di kemudian hari bahwa aku menjiplak manuskrip itu, aku mengubah beberapa hal-hal minor dalam tulisanku.
Jadi beginilah kisahnya.
Hujan deras tak henti-hentinya mengguyur pelabuhan malam itu. Bersamaan dengan itu, Petir datang menyambar disertai kilat, membuat suasana semakin suram. Seorang pria turun dari kapalnya. Perlahan dia menuruni tangga di depannya sambil dipayungi oleh seorang pengawal. Dia langsung disambut dengan hangat oleh tiga pria berbadan tegap yang telah mengulurkan tangannya untuk saling berjabat tangan. Setelah itu, mereka semua memasuki kereta kuda dan langsung menuju istana.
Sesampainya di istana, pria itu disambut bak seorang pahlawan. Beberapa orang mengalungi lehernya dengan kalung bunga. Orang-orang penting di negeri itu juga turut hadir untuk mengucapkan selamat datang. Kedatangannya juga disambut dengan jamuan makan malam, yang barangkali merupakan jamuan makan termewah yang dia lihat dalam hidupnya. Berbagai macam makanan yang asing, dengan aroma dan tampilan menggugah selera berjejer di depannya. Dari pintu di sisi yang berbeda, tuan rumah memasuki ruangan dan langsung duduk di sebelah pria itu, barulah acara jamuan makan malam dimulai bersama para tamu undangan. Tidak pernah dia rasakan makanan yang begitu nikmat seperti jamuan makan malamnya.
Ketika semua piring-piring dan gelas-gelas telah dipinggirkan dari meja, acara sesungguhnya baru dimulai.
Tuan rumah itu berdiri. Setelah berdehem untuk membenarkan suaranya, dia memulai sambutannya:
“Selamat malam kepada seluruh tamu undangan pada malam hari ini. Adalah sebuah kehormatan menyambut salah satu orang penting di tengah-tengah kita. Dia tidak berasal dari negeri ini. Begitu juga ibu dan bapaknya. Tapi yang mesti kita ketahui, pria ini yang akan menentukan nasib bangsa kita, negeri kita, dan masa depan kita.
Bukanlah hal mudah membujuknya untuk datang ke sini. Tempatnya berasal bukanlah negeri yang damai. Banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan orang tua yang kehilangan anaknya. Jika selama ini sekolah menjadi tempat kita belajar dulu, maka tempat ia belajar di negerinya adalah medan perang. Anak-anak dibesarkan dengan berperang. keterampilan menggunakan pedang, panah, dan menunggang kuda mereka pelajari sedari kecil.
Saudara-saudara mungkin heran mengapa pria di samping saya ini begitu penting sampai kita bujuk untuk menjadi penentu masa depan kita? Ketahuilah semuanya, pria ini adalah orang paling disegani di negerinya. Siapapun di negerinya memiliki rasa hormat terhadap dirinya. Berbagai pertempuran, peperangan, dan perlawanan telah ia lalui. Tanyakan pada mayat-mayat lawannya setangguh apa ia di medan perang. Maka tidak ada satupun lawannya yang tidak merasa gentar kepadanya.
Untuk itu, kita berharap ia mampu menyelesaikan misi penting yang nanti akan diberikan. Misi yang selama 4 tahun ini selalu menemui kegagalan.
Bila kelak ia berhasil dengan misinya, saya telah berjanji untuk memberikan jabatan penting beserta izin tinggal di negeri yang kita cintai ini. Tentunya terdapat rincian yang tidak akan saya sebut di sini.
Saya harap kita bisa bahu-membahu dengan pria ini demi mencapai keberhasilan.
Terima kasih.”
Seketika ruangan itu dipenuhi suara tepuk tangan dari para tamu undangan. Sang tuan rumah menarik kursinya dan kembali duduk. Ia kemudian mempersilakan pria itu untuk berdiri untuk memberikan sepatah-dua patah kata. Pria itu tersenyum, kemudian menolak si tuan rumah dengan baik-baik.
Keheningan yang terjadi tiba-tiba dipecahkan oleh suara pintu terbuka oleh seorang pengawal yang masuk membawa pesan, “Maaf yang mulia, tapi adik anda sedang dalam kondisi kritis,” ucap sang pengawal. Sang tuan rumah terkejut. Karena ingin memprioritaskan adiknya, sang tuan rumah memutuskan mengakhiri acara malam itu. Ketika para tamu undangan berbondong-bondong ke luar dari istana, adik sang tuan rumah yang tidak sadarkan diri dengan baju yang basah berlumur darah ditandu masuk oleh para prajurit.
Tidak mau membuat tamu pentingnya panik, sang tuan rumah mempersilakan tamunya untuk beristirahat, “Tidurlah di kamar di ujung lorong sana. Aku akan menjaga adikku. Dokter juga sedang berupaya menyembuhkan lukanya. Tidurlah!” ucap sang tuan rumah. Pria itu menuruti ucapan si tuan rumah dan mengucap terima kasih.
Ketika pria itu terbangun keesokan paginya, halaman istana sudah dipenuhi kembali oleh orang-orang yang ia sadari wajah-wajahnya merupakan tamu undangan semalam. Pria itu menghampiri salah satu penjaga di sebuah pilar dan bertanya, “Mengapa semua orang berkumpul?”.
Penjaga itu menjawab, “Kita akan mengadakan upacara pemakaman. Adik raja telah meninggal tadi malam.”
“Apa sebab dia terluka hingga meninggal tadi malam?” Pria itu bertanya kembali.
“Beliau sedang menjalankan misi ke suku D tadi malam bersama beberapa pasukan. Di tengah perjalanan, mereka disergap oleh sekelompok orang dari suku D,” jawab pengawal itu.
Mendegar kejadian tadi malam, pria itu menyadari betapa kehilangannya sang raja. Pria itu juga pernah memiliki seorang adik yang meninggal juga ketika masih muda di medan perang. Rasa kehilangan itu begitu membekas baginya. Karena itu, pria tersebut ingin menghormati perasaan sang raja dengan mengikuti upacara pemakaman dari awal hingga akhir yang memakan waktu 3 hari. Hal yang sedikit aneh baginya, sebab di negerinya semua yang meninggal akan langsung dikuburkan, tanpa ada upacara yang memakan waktu berhari-hari.
Ketika upacara pemakaman usai, pria itu menyendiri di kamarnya. Ketika dia memandang jauh lanskap kota dari kamarnya, dia melihat betapa nampak damainya negeri ini, hal yang tidak dia rasakan di negerinya sendiri. Tok-tok-tok. Terdengar suara ketukan dari balik pintu. Suara ketukan pintu itu diteruskan dengan suara orang pengetuknya, “tuan, anda dipanggil untuk menghadap raja.” Mendengar perintah menghadap raja, pria itu merapihkan pakaiannya, lalu keluar dari kamar dan melangkah dengan pasti. Tak ada satu pun, baik prajurit maupun perwira, yang melangkah begitu percaya dirinya selain dia. Badannya besar dan tegap. Tatapannya begitu tajam dan mengancam. Sesampainya di ruang tengah, dia lihat raja telah berada di singgasananya dari kejauhan. Pria itu terus melangkah mendekati sang raja dan berlutut. Sang raja lalu bangkit dari singgasananya.
“Viktorus, dengan ini aku angkat engkau menjadi pemimpin misi penaklukan suku D. Dengan ini pula kau memiliki kuasa atas seluruh prajurit di kerajaan ini,” ucap sang raja sambil mengoleskan kening dan pipi pria itu dengan cat hitam dan merah. Kemudian, raja menyuruhnya berdiri dan dipeluklah pria itu. Raja lalu mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu sambil berkata, “Semoga kau beruntung.”